desa

banjar

pura

puri

subak

kesenian

situs budaya

lokasi wisata

sulinggih

lpd

pasar

tokoh seni tari

tokoh seni musik/tabuh

tokoh seni karawitan

dalang

tokoh sastra

tokoh seni drama

tokoh seni patung

tokoh seni ukir

tokoh seni lukis

pemangku

tukang banten

sekaa tabuh

sanggar tari

sanggar karawitan

sanggar pesantian

sanggar arja

sanggar wayang

sanggar dolanan

sanggar lukis

Kesenian di Kota Denpasar

Sekaa Janger Kedaton Penyelamat Gending Rare Di Bali Selatan • Desa Sumerta Kelod

Author : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar

Post on : Oct 10 2019 :: 08:41:47 AM

Viewed by : 4328 people

Deskripsi


-

Sejarah


Masyarakat Bali pasti ingat dengan gending-gending rakyat untuk tarian janger antara lain “don dap dape”. Lagu ini menyelipkan bait “panak, panak biu, panak biu di Kedaton. Panak biu di Kedaton”. Selipan kata “Kedaton” dalam bait lagu tersebut terjadi karena lagu tersebut dari proses perkembangan janger di Bali Selatan dan berpusat di Banjar Kedaton, Denpasar.

                Lagu itu memang terkenal melebihi ketenaran sekaa jangernya yaitu Sekaa Janger Kedaton di banjar Kedaton. Entah karena lagu tersebut, sekaa janger ini terkenal paling baik dibanding janger lain di Bali.

                Disebut Janger Kedaton karena kelahirannya di Banjar Kedaton, Denpasar. Awalnya, kesenian pergaulan anak muda (janger) ini muncul dari akumulasi hiburan anak muda dan anak-anak yang ditandai kesukaan megending, bernyanyi saat mengembala sapi dan mandi di kali. Biasanya gending-gending tanpa judul itu dinyanyikan anak-anak pengembala sapi di hamparan sawah. Prilaku ini dilanjutkan bernyanyi ria saat mandi di kali, Tukad Badung.

                Mereka bernyanyi sesuka hati sekenanya. Sekali bersahut-sahutan dengan maksud tertentu. Selain saat mengembala sapi, nyanyian dasar itu juga sering dinyanyikan muda-mudi saat memanen padi di sawah. Mereka menyanyi untuk menghilangkan keletihan terutama akibat terik matahari.Selain nyanyian pergaulan mereka juga menyanyikan nyanyian sanghyang karena mereka sering nonton tarian sakral, sanghyang di Banjar Bun. Mereka bernyanyi bersahut-sahutan yang disambut sorak sorai.

                Belum puas di kali, setibanya sebidang halaman rumah yang disepakati, mereka duduk berkelompok di halaman rumah sambil bernyanyi serta diiringi gerakan-gerakan tangan seadanya seperti orang sedang menari. Nyanyian dan gerak tari bak desingan alam ini dimainkan tanpa diiringi gambelan gong melainkan cukup dengan suara mulut masing-masing. Tradisi menyanyi dan menari sederhana ini berkembang sejak tahun 1918 di lingkungan Banjar Kedaton dan sekitarnya.

                Berbeda dengan tradisi anak muda di Kedaton. Sekitar tahun 1920 di daerah Kubu Buleleng terdapat kebiasaan “metuakan” (minum tuak) yang disertai dengan metembang bersama sekaa tuak. Kebiasaan ini biasnya dilakukan disebuah halaman rumah warga yang telah ditentukan. Mereka minum tuak sampai mabuk. Dalam kondisi mabuk dan tidak sadarkan dirinya, mereka bernyanyi, berteriak – teriak dan bernyanyi-nyanyi sekenanyanya.

                Dari kebiasaan metuakan ini banyak jenis nyanyian rakyat setempat muncul dan ditirukan anak-anak terutama saat malam terang bulan purnama. Nyanyian ini selanjutnya disempurnakan oleh sekelompok orang yang tertarik menjadikan sebuah nyanyian yang dipadukan dengan gerak tari. Perpaduan ini menimbulkan gending janger dan berkembang ke Bali timur dan Bali selatan. Gending pertuakan yang diadopsi untuk tarian janger ini dimekarkan dengan perpaduan gending koor tari sanghyang baik laki maupun wanita.

                Pada masa itu di Kedaton belum ada janger. Nyanyian anak banjar setempat baru sebuah nyanyian kebebasan bersuka hati. Sementara perkembangan janger sudah ada wilayah Denpasar, dimulai di Desa Penatih. Janger ini sangat sederhana baik konstum maupun gerakan tarinya. Penari janger dan kecak menggunakan pakaian sehari-hari dan kepalanya diikat kain dan tanpa gamelan. Dari Penatih berkembang tarian janger di Sempidi, Badung hingga ke Banjar Tegal. Janger Tegal ini sangat menarik perhatian muda – mudi dari Banjar Kedaton terutama yang pernah menonton tariannya. Munculnya berkemauan sekelompok pemuda dan tokoh banjar setempat membentuk sekaa janger.

                Besarnya kemauan mejangeran membuat mereka tidak terlalu sulit melatih diri. Mereka mendatangkan janger dari Belaluan bernama I Koncong dan I Made Madeg dari Banjar Lebah, mengajar tetabuhan. Pembinanya dipercayakan kepada I Nyoman Kaler dari Pemogan, Denpasar.

                Dalan proses latihan janger Kedaton, para penarinya tidak duduk berjejer seperti janger sekarang, melainkan duduk melingkar seperti pertunjukan tarian cak. Beberapa bulan kemudian baru dimasukan penari wanita dengan posisi janger dan kecak membentuk segi empat. Selain penari kecak dan penari janger di dalamnya juga ada penari “dag”. Dag, penari tunggal yang ditarikan oleh seorang laki-laki dengan berpakaian seperti pakaian kebyar duduk. Perkembangan selanjutnya, pertunjukan janger memakai lakon. Posisi janger dan kecak membentuk formasi seperti tapal kuda seperti komposisi pementasan janger sekarang. Dengan komposisi ini penari tidaj membelakangi penonton.

                Formasi serta bentuk tarian janger Kedaton disusul dengan pesatnya pakaian di Bali. Kostum janger yang sebelumnya hanya pakaian sehari-hari diganti dengan penggunaan baju kebaya untuk penari wanita. Kebaya tersebut berbahan kain tenunan yang dilengkapi sabuk setagen (melilit dipinggang hingga menutup bagian dada) dan selendang yang dikenakan pada dua sisi pinggul. Untuk penari kecak mengenakan celana hitam, baju kemeja putih dan kepalanya diikat dengan kain. Dengan pakaian itu, janger Kedaton sudah mulai merambah panggung pementasan baik di pura maupun di tanah lapang. Biasanya orang mementaskan janger karena tertarik dengan tarian serta gending-gendingnya yang menggelitik khususnya kalangan anak muda mudi.

                Semakin banyaknya undangan pentas membuat pengurus sekaa janger tak henti-henti melakukan pembenahan. Berbagai gagasan muncul tiada lain guna lebih meningkatkan perberdayaan seni yang mereka rintis. Selanjutnya penari kecak dan janger dari Kedaton ini mengenakan pakaian pentas setengah badan seperti pakaian sembahyang. Ini ditandai dengan penari janger mengenakan gelungan dan kecak menggunakan udeng. “Selain meningkatkan cara berpakaiannya, pengurus terus memikirkan bagaimana menciptakan gending-gending janger dan gambelan agar lebih menarik. Jika tidak diadakan penciptaan gending, jelas akan membosankan,” ujar tokoh janger Kedaton, I Made Monog.

                Sejak mulai berkembang, tarian janger Kedaton diiringi gambelan ”batel” berupa cengceng, kendang lanang wadon, kendang rebana, suling kelenang, gumanak dan tawa-tawa. Sekitar tahun 1943, instrumen gambelan janger diiringi gambelan batel dengan empat buah gender wayang. Penggunaan batel ini sempat diajarkan oleh I Made Keredek dari Singapadu.

                Tahun 1950 gambelan batel diganti lagi dengan gor kebyar. Ide penggunaan gong kebyar muncul dari buah pikiran I Made Monog dan I Gusti Putu Oka Nik yang juga tokoh janger Kedaton. Penggunaan gong kebyar ini tiada lain selain lebih artistik juga untuk memancing warga Banjar Kedaton mau membeli gong kebyar. Dengan gong kebyar dua tokoh janger ini berharap agar janger di kedaton bisa ditingkatkan terutama tari dan gegendingannya. Penggunaan gong kebyar ini juga dilengkapi dengan suling dengan tujuan mempermudah menabuh gambelan janger.

                Selain perkembangannya pakaian dan gambelan pengiring, janger Kedaton juga mengalami perkembangan pada bentuk vokal/nyanyian. Mulanya lagu-lagu yang dipakai adalah lagu dolanan anak-anak atau lagu rakyat. Lagu – lagu ini berkembangan sesuai dengan selera dan jaman di tengah masyarakat. Misalnya, pada jaman penjajahan lagunya lebih banyak menyentuh tema penjajahan, jaman membangun soal pembangunan dan sebagainya. Lagu-lagu ini biasanya menggunakan pola gending sekar rare, berbahasa Bali lumrah tanpa terikat guru lagu. Lagu ini biasanya lebih bersifat ekspresi kegembiraan dan dinamis sesuai dengan kemauan penciptanya. Biasanya gending ini lebih banyak berupa lagu berpantun, bersahut-sahutan sesuai dengan kehidupan muda- mudi. Dengan pemunculan berbagai kreasi bentuk, pakaian dan lagunya janger Keraton makin populer dan berkembang dengan baik. Dalam perkembangan selanjutnya, sekaa janger Kedaton sempat mengalami kejayaan mulai tahun 1925 sehingga 1943. Oleh karena tarian janger baru berkembang dan sangat digemari masyarakat terutama pada masa penjajahan Belanda dan Jepang. Masa jaya janger Kedaton sudah terlihat sejak janger ini dilengkapi cerita cupak, waktu itu terkenal Ida Bagus Boda drai Kaliungu Kaja menjadi penari cupak terkenal. Dengan memasukkan cerita cupak, janger Kedatin makin terkenal di seantero Bali bahkan di kalangan wisatawan di Bali. Kejayaan janger Kedaton tidak terlepas dari kondisi kempisnya perkembangan kesenian hiburan di masyarakat khususnya untuk kalangan muda mudi. Kejayaan ini juga akibat dukungan pengurus dalam pengelolaan sekaa di bawah pembinaan klian banjar. Kondisi ini juga menajdikan janger Kedaton, sebuah sekaa kesenian Bali yang paling laris pada zamannya. “Waktu itu, sudah hal menjadi kebiasaan bagi sekaa janger Kedaton pentas lima kali dalam sehari,” ujar Monog.

                Sebagai kesenian balih-balihan (hiburan) janger Kedaton wajib dipentaskan di Pura Batu Bolong setiap piodalan enam bulan sekali. Kewajiban pentas ini sebagai bukti bhakti sekaa janger karena mereka meyakini telah memperoleh taksu di pura setempat.

                Keindahan janger Kedaton tidak hanya menarik perhatian orang Bali juga orang non Bali (Hindu). Pada tahun 1929, sekelompok orang Arab pernah menyelenggarakan “janger mepadu” , sejenis festival di Lapangan Puputan Badung. Diantara sejumlah janger yang adu kebolehan, kelihatan janger Kedaton memperoleh sambutan paling ramai. Decak kagum penonton ini menjadikan janger Kedaton memperoleh kesempatan pentas di Betawi (Jakarta) dari 28 Agustus s/d 9 September 1929.

                Janger Kedaton juga tidak luput dari kesuraman terutama makin berkurangnya undangan pentas/pengupah. Selain itu telah banyak penarinya kawin keluar dan belum ada generasi penerusnya. Sampa tahun 1950-1970, janger ini tidak pernah pentas. Para tokoh banjar Kedaton cukup sedih dengan kesuraman jangernya. Hingga mulai tahun 1971 sekaa Janger setempat kembali dibankitkan dengan melatih penari janger dan kecak baru. Kebangkitan ini makin hidup karena dihembusi oleh perkembangan pariwisata di Bali yang makin pesat. Sejumlah hotel berhasil dijadikan tempat pementasan diantaranya hotel Bali Beach, Bali Hyatt serta travel biro, dan sebagainya. Jayalah kembali janger Kedaton.

Sumber Informasi : -

Kesenian Lainnya di kec. Denpasar Timur