desa

banjar

pura

puri

subak

kesenian

situs budaya

lokasi wisata

sulinggih

lpd

pasar

tokoh seni tari

tokoh seni musik/tabuh

tokoh seni karawitan

dalang

tokoh sastra

tokoh seni drama

tokoh seni patung

tokoh seni ukir

tokoh seni lukis

pemangku

tukang banten

sekaa tabuh

sanggar tari

sanggar karawitan

sanggar pesantian

sanggar arja

sanggar wayang

sanggar dolanan

sanggar lukis

Kesenian di Kota Denpasar

Sekaa Palegongan Banjar Binoh Dari Pependetan, Pesaing Gong Kebyar • Desa Ubung Kaja

Author : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar

Post on : Oct 10 2019 :: 08:54:23 AM

Viewed by : 2146 people

Deskripsi


-

Sejarah


Keberadaan Sekaa Palegongan Banjar Binoh, Denpasar tidak terpisahkan dari lingkar sejarah perjalanan seni karawitan Bali. Ketenaran sekaa yang sebelumnya sebunan (sekelompok seniman satu banjar) ini menjadikan nama Banjar Binoh identic dengan Pelegongan. Sekaa Palegongan yang berkembang di era 1920-an ini juga menjadi slaah satu sekaa gong yang menarik perhatian kalangan Pembina seni dan pemerintah.

                Sebagai sekaa yang kasub (terkenal) di Bali khusunya Denpasar, Sekaa Palegongan ini tentu lahir dari peradaban berkesenian yang cukup berliku dan meletihkan. Jauh sebelum pendirian sekelompok hobis seni yang bernama sekaa, sekaa palegongan Banjar Binoh berawal dari etos tradisi budaya warga banjar yang cinta kesenian daerah. Ini terbukti setiap piodalan di pura, pemerajan dan upacara ritual lainnya, sering terlihat tarian pendet ditarikan gadis-gadis desa serta permepuan tua desa. Menari pendet seperti ini disebut memendet sebagai rangkaian upacara  yang dipersembahkan di halaman pura beberapa menit setelah katuran piodalan.

                Ketahuan, para penari pendet tersebut tidak bisa melakukan gerakan tari sesuai dengan pakem dasar gerak tari Bali yang ada seperti agem, tanda dan tangkep. Mereka menari berdasarkan impropiasi dengan menuruti irama gambelan gender wayang yang juga kebetulan untuk gamelan upacara piodalan. Mereka menari asal kelihatan menari karena mereka tidak memiliki pengetahuan dan dasar-dasar gerakan tari. Mereka juga tidak menggunakan pakaian khusus menari dan hanya berpakaian sembahyang. “Kendatipun sederhana begitu, tarian pendet ini sangat menarik pehatian karma pemedek yang sembahyang,” kata, Made Sumadi, tokoh pelegongan Banjar Binoh.

                Saking seringnya ada piodalan di sejumlah pura dan pemerajan yang disertai dengan persembahan memendet, timbullah niat sejumlah penari pendet tersebut belajar menari untuk sekedar mencari keseragaman gerak. Niat itu makin nyata setelah memperoleh restu dari tokoh banjar. Mereka pun mulai belajar menari sungguh dengan mendatangkan Pembina tari dan tabuh. Seorang pelatih tari dimaksud diantaranya, I Lantur asal Batukandik Padangsambian, Denpasar yang dibantu I Cedet, warga setempat. Proses pembelajaran menari dasar ini lebih banyak di lakukan di balai banjar, selanjutnya di rumah-rumah penduduk. Sebagai umat beragama Hindu, sebelum belajar menari mereka menghaturkan sesajen sekaligus melakukan persembahyanga n bersama di pelinggih pengerubungan/Padmasana. Tujuannya, mohon restu sekaligus anugrah dari ida Sang hyang Widhi Wasa untuk cepat bisa menari.

                Seperti halnya proses belajar menari pada zaman itu, pelatih tari tidak langsung mengajarkan tari yang diiringi gambelan. Melainkan mereka hanya menggunakan isyarat gerakan tari serta mat dari suara mulut. Suara mulut ini tentu sangat jauh dari kesempurnaan gambelan pengiringnya. Tentu penari cukup mengerti dengan maksud serta petunjuk gerakan tari dengan iringan irama mulut tersebut.

                Ketertarikan dengan tarian menyebabkan hampir setiap malam balai banjar setempat diriuhkan dengan prosesi latihan menari. Dua Pembina tari. I Lantur dan Codet makin rajin melayani mengajar menari. Berbagai jenis tarian pelegongan diajarkan seperti pependetan, legong kraton, kuntul, kuntir ddan lainnya. Hasilnya sekitar 15 murid tari mampu menekuni sebagai seorang penari. Proses pengajarannya pun dilakukan tingkat demi tingkat hingga sang penari/murid menemukan kesempurnaan tarian.

                Sejalan dengan belajar tari, tokoh warga Banjar Binoh juga makin memantapkan pembinaan tabuh mengiringi tarian legong. Tabuh yang lazim dijadikan pengirim tarian berupa Semar Pegulingan yang sebelumnya berupa tabuh pegenderan.

                Proses pembinaan yang seidikit keras memperlihatkan adanya murid yang bisa melakukan gerakan-gerakan halus dan seragam antara satu dengan yang lainnya, kendatipun belum terbilang amat sempurna.

                Selang beberapa tahun kemudian, sekitar tahun 1915 legong di Binoh sudah tergolong lebih baik dibandingakan sebelumnya. Kendatipun belum menjadi sekaa legong resmi atau masih darurat, sudah muncul sejumlah penari yang bisa menarikan legong keratin. Antara lain; Ni Rupik, Ni Rubik, Ni Besog dan Ni Limas. Emapat penari tersebut sekaligus disebut penari legong pertama yang berhasil mengangakat nama Binoh.

                Dari kepiawaian empat penari itu, Banjar Binoh mulai identic dengan tarian legong keratin terutama di wilayah Denpasar. Selanjutnya banyak penari muda yang mengikuti jejak empat penari tersembut ditambah dengan adanya gambelan palegonganmilik banjar. Gambelan ini cukup layak disebut gambelan pengiring legong.

                Dengan pemunculan gambelan palegongan Semar Pegulingan, minat menari khususnya kalangan anak-anak belajar makin meningkat. Proses pembinaan tari dan tabuh terus dimantapkan seiring dengan desakan waarga banjar. Sejumlah tokoh banjar tak segan segan mendatangkn Pembina/guru dari Geria Kaliungu, ida Bagus Boda, selain piawai menabuh juga cukup ulet menekuni gerak tari.

                Pembinaan tari dan tabuh palegongan dari Ida bagus Boda ternyata membawa hasil yang sangat menggembirakan. Selain Ida Bagus Boda juga didatangkan guru seni tabuh asal Kuta, I wayan Lotring sekaligus merangkap membina tari. Oleh dua empu seni ini membuat perkembangan legong keratin di Binoh makin pesat dibandingkan sebelumnya. Munculah penabuh piawai antara lain I Wayan Djiwa dan lainnya.

                Warga banjar makin menyadari keberadaan legong keratin tidak lepas dari prosesi upacara agama, adat-istiadat serta pelestarian seni budaya setempat. Sehingga tahun 1928, tokoh banjar setempat berinisiatif untuk meresmikan pendirian sekaa legong keraton tersebut yang sebelumnya berbentuk darurat.

                Berkat sekaaa ini nama binoh makin dikenal karena keindahan legong keratonnya. Masyarakat dari binoh sangat terpikat dengan keluwesan penari, Ni Mintar dan Ni Sempak dari Binoh. Dua penari inilah sempat menjadi mascot legong keraton Binoh sekaligus penari handalannya. Sebab, penari lainnya belum terlalu menonjol. Masa ini sekaligus menjadi masa keemasan legong keraton tersebut.

                Beberapa tahun kemudian, legong keraton binoh tidak luput dari pasnag surutnya dinamika masyarakat. Legong Binoh sempat menghilang karena kesibukan penari dan penabuh diluar sekaa. Penabuhnya sebagian besar peetani yang sering dihadang kesulitan hidup terutama karena tanaman padi mereka diserang hama dan penyakit. Kondisi itu menyebabkan aktifitas sekaa palegongan sempat terhenti total.

                Terhentinya sekaa sebelumnya ini menyebabkan tidak ada kegiatan sekaa gong yang menabuh gending-gending semar pegulingan.sekitar tahun 1960, beberapa penabuh muda banjar berenccana akan melebur alat gambelam semar pegulingan menjadi gambelan gong kebyar. Namun berkat saran pelestarian gambelan dan gending Semar Pegulingan dari seniman muda asal Banjar Dauh Kutuh, I Wayan Sinti, akhirnya rencana dibatalkan. Ketika melihat sekelompok tetua ngerembug (ngobrol) di Balai Banjar Binoh, sinti yang aktif menabuh di Banajr Binoh ini memberanikan diri nyelag (menengahi) rembugan itu. Ia minta agar tetua setempat mencegah peleburan gong di banjar tersebut jika warga Binoh tidak ingin menyesal kemudian hari. Sinti yang guru Kokar ini tahu persis suatu ketika Gamelan Gong Semar Pegulingan sangat langka disamping sudah banyak terdapat gong banjar dijadikan gong kebyar. “Duh dewa ratu kenapa gong yang begitu bagusnya dilebur lagi dijadikan gambelan gong kebyar,” Sinti merasa yakin.

                Seirama dengan tekad Sinti, seorang Klian Binoh Kaja, I Made Sumadi memutuskan untuk membuat sebarung gong duplikat untuk pembinaan tabuh gong kebyar bagi anak-anak muda banjar. Ini dimaksudkan mencegah kerusakan sekaligus melestarikan gong”sacral” Semar Pegulingan. Sebab gong ini lebih diutamakan untuk mengiringi kegiatan upacara setingkat Dewa Yadnya, sperti piodalan di pura dan pemeerajan.

                Dengan gambelan semar pegulingan ini, sekaa legong di Binoh kembali menata gending-gending tetabuhan klasik yang hampir ditelan zaman. Kiblat sekaa gong semar pegulingan generasi kedua ini ternyata memukaumasyarakat, praktisi seni maupun pemerintah. Tidak hanya untuk pementasan. Gong Binoh sering dijadikan ajarn riset pengembangan tetabuhan gambelan gong klasik di Bali. Melalui proyek Sarana Budaya Bali tahun anggaran 1974/1975, sekaa gong Binoh Dijadikan pusat pengembangan tarian legong keraton yang waktunya bersamaan dengan loka karya legong keraton dan gambuh di Bali. Usai proyek ini, sekaa pelegongan ini memperoleh kepercayaan mengisi acara di wantilan Taman Budaya dan event seni lainnya.

                Saat itu belim semua jenis tarian yang pernah ada bisa ditatata kembali. Dalam proses penataan tarian lanjutan, sekaa Pelegongan Bnjar Binoh memperoleh bantuan pembinaan dari Ford Fondation selama dua tahun (1976-1977). Pembinaan ini makin dimantapkan dengan mendatangkan penari terkenal, Ni Reneng yang dibantu penari Ni Ketut Alit Arini dan Gusti Ayu Mas Susilawati. Dua penari terakhir ini adlah guru tari di Kokar, Denpasar. Sedangkan penataan tabuh disetujui oleh guru sebelumnya, I Wayan Lottring, I Gusti Putu Gerih dibantu I Wayan Sinti dan I Nyoman Suandi dari Binoh.

                Disamping menggarap tabuh dan tari legong keraton, sekaa gong di Binoh ketika dipimpin klian sekaa Wayan Djesna Winanda juga menata tabuh pegambuhan. “Ini dimaksud untuk memperkaya penguasaan tabuh dan tari pelegongan,” kata dia.

                Kesinambungan Pembina itu ternyata menjadikan sekaa legong di Binoh makin punya nama di hati masyarakat dan pecita seni. Tak tanggung-tanggung sekaa pelegongan ini sempat tampil di Taman Ismail Marzuki Jakarta dalma Pekan Seni dan Tarian Daerah tahun 1984 bersama tim keseniandari 27 propinsi di Indonesia. Saaat itu sekaa pelegongan ini bergabung dengan tim Kesenia Kanwil Depdikbud Bali dengan menampilkan garapan “Calonarang Gmabuh” yang diiringi gambelan Semar Pegulingan Binoh.

                Pada pesta kesenian Bali (PKB) 1986, sekaa pelegongan ini mendapat kesempatan mengisi acara seni di Gedung Ksiranawa dengan pementasan tari gabor, legong keraton, kuntul dan pragmen Sida Paksa.

Sumber Informasi : -

Kesenian Lainnya di kec. Denpasar Utara