desa
banjar
pura
puri
subak
kesenian
situs budaya
lokasi wisata
sulinggih
lpd
pasar
tokoh seni tari
tokoh seni musik/tabuh
tokoh seni karawitan
dalang
tokoh sastra
tokoh seni drama
tokoh seni patung
tokoh seni ukir
tokoh seni lukis
pemangku
tukang banten
sekaa tabuh
sanggar tari
sanggar karawitan
sanggar pesantian
sanggar arja
sanggar wayang
sanggar dolanan
sanggar lukis
Author : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar
Post on : Jul 17 2018 :: 10:41:51 AM
Viewed by : 2293 people
Hingga usianya melewati masa setengah abad sekarang ini, kehidupan Ni Ketut Alit Arini memang tidak terpisahkan dari samudra seni tari Bali. Tak berlebihan jika banyak kalangan mengakui Arini sebagai salah seorang wanita penari Bali yang amat suntuk menekuni tari Bali hingga menjadi penari terkenal di angkatannya.
Perjalanan berkesenian Arini memang panjang dan penuh liku. Arini kecil adalah anak seorang petani di lingkungan Banjar Lebah, Denpasar. Sebagaimana halnya anak-anak desa di Bali seangkatannya, kehidupan Arini kecil lebih banyak bergelut dengan tugas membantu orang tuanya di sawah. Ia pun sering membantu beban hidup orang tuannya dengan cara munuh (mencari padi sisa panen di sawah), setelah dating dari sekolah. Toh begitu, Arini kecil masih saja menyempatkan diri untuk menuruti kemauan hati nuraninya belajar menari. Setiap ada kesempatan dia pun langsung berlari ke balai Banjar Lebah. Di sini dia berbaur dengan bocah-bocah sedesanya yang suntuk belajar menari.
Maka, masa kecil Arini pun berkisar di tiga tempat: sekolah, sawah, dan balai banjar. Di sekolah ia menjadi murid yang menuntut ilmu pengetahuan, di sawah ia menjadi anak wanita yang membantu tygas orang tua sekaligus meringankan beban ekonomi keluarga, sedangkan di balai banjar dia bermanifestasi menjadi penari yang suntuk.
Arini kecil memang tak bias mengkhianati hati nuraninya yang lebih memilih bidang seni tari daripada petani di sawah. Pilihan demikian ia rasakan saat belajar menari bersama anak-anak lainnya di balai banjar. Jika anak lain merasa sulit menempa gerakan-gerakan tarian yang diajarkan oleh guru yang keras bahkan galak. Maka, tak mengherankan bila murid lain menangis didamprat sang guru, Arini malah merasa terpacu. Akibatnya, manakala murid lain dijewer karna tak mampu menirukan gerakan yang dicontohkan sang guru, Arini justru mendapat pujian sekaligus dijadikan contoh agar ditiru teman-temannya. Bila ada murid lain sampai direndam di balai banjar untuk melemaskan otot-ototnya, Arini pun bebas dari segala hukuman.
Hingga kini Arini masih ingat pesan guru tarinya, I Wayan Rindi. “Hanya ketegasan dan keuletanlah yang akan menimbulkan kehalusan gerak untuk menuju keberhasilan menari,”kutip Arini. Arini memang tak peduli dengan kerasnya pola pengajaran sang guru tari. Prinsipnya hanya satu: bagaimana ia bias dengan cepat dan tepat meniru gerak sang guru. Ia memang sangat ingin menuruti hati nuraninya untuk bias menari. Menari baginya adalah satu karunia yang membahagiakan. Maklum, pada zaman Arini kecil, untuk bias tampil menari di balai banjar saja bukanlah soal yang mudah. Apalagi hundak tampil menari di Pura.
Pola kasudi (ditunuk) demikian tentu saja menjadikan mereka yang diizinkan menari di balai banjar maupun di Pura bukan orang-orang sembarangan, bukan asalkan bias menari, melainkan penari-penari terpilih. Kemampuannya sudah benar-benar lolos ujian. Dan, Ketut Alit Arini tenyata satu diantara bocah yang terpilih itu untuk ngayah ngigel (berbakti menari) mewakili Banjar Lebah baik di bale banjar maupun di Pura Desa. Dan, dari sini keyakinannya terus tumbuh untuk menekuni seni tari Bali.
Setamat SD di Sumerta, ia makin tekun belajar menari. Hasratnya yang menggebu itu mendapat dukungan keluarga. Di jalur pendidikan formal, selanjutnya ia pun memilih bersekolah di Kokar (sekarang SMKIN) Denpasar. Lewat penempaan sejumah tokoh seniman tari ala, seperti I Gede Manik, I Nyoman Kakul, Arini makin percaya diri bahwa ia kelak pasti menguasai sejumlah tarian Bali dengan baik. Sejumlah guru dari Kokar merasa bangga dengan kemampuan Arini.
Kelebihan Arini dalam proses pembelajaran tidak hanya terletak pada kekuatan daya tangkap pakem seni tari, namun ia kerap menjadi guru kecil sejumlah teman sekolahnya. Ketika guru tari berhalangan hadir, Arini sering ditunjuk teman-temannya tempil “mengajar” dalam bentuk memberikan contoh gerakan tari yang baik dan benar. Tak hanya di sekolah, Arini pun sering didatangi sejumlah teman ke rumahnya, terutama pada hari Minggu atau siang hari sepulang sekolah.
Kendatipun ia sempat dijuluki guru kecil di sekolahnya, Arini merasakan apa yang dikuasai masih jauh dari harapan seorang penari yang tangguh. Akibatnya, ketika tamat Kokar Denpasar ia smpat bingung karna tidak ada guru lagi yang sanggup mengisi dirinya. Ia sempat berburu guru-guru tari Bali hingga ke luar Badung, seperti Tabanan, Gianyar, Karangasem.
Bersamaan dengan itu ia juga banyak mencurahkan perhatian pada sejumalah anak=anak baik di balai Banjar Lebah maupun di sejumlah sanggar tari untuk mengajar tari. Setelah melanglang jagat Bali belajar menari, ia akhirnya memang tumbuh menjadi guru tari.
Di samping itu, dia juga melanjutkan studi ke IHD (Institut Hindu Dharma, kini Universitas Hinu Indonesia) Denpasar. Di sini ia hanya tahan kuliah dua tahun. Dengan dibukanya ASTI (kini STSI) Denpasar tahun 1967, ia pun mencoba memperdalam Ilmu tarinya di akademi yang masih anyar itu. Tahap demi tahap ia tekuni hingga kemudian berhasil meraih gelar Sarjana Muda Bidang Tari di STSI tahun 1973 selanjutnya sarjana lengkap (S1) pada tahun 1983. Kendatipun belum meraih sarjana S1 ia telah dipercaya mengajar tari di ASTI sejak tahun 1973 hingga 1980.
Sejauh sebelum menekuni kehidupan kampus ia sering diminta orang mengajar dan menari di wilayah Denpasar dan luar Badung hingga ke Mataram, Lombok Barat. Keberangkatan Arini hingga ke Lombok karena ia dikenal sebagai guru tari muda yang berbakat dan dicintai murid-muridnya. Selebihnya ia banyak menyusuri desa-desa di sekitar Bali untuk mengajar dan ngayah ngigel (menari) di sejumlah pura.
Awalnya Arini mengaku tidak punya tujuan prinsip dalam hidup sebagai penari. Ia hanya ingin meyakini bahwa menari selain memberikan kepuasan diri juga bias menjadikan bagian diri lebih penting, setara dengan manusia lainnya. Namun, Arini merasakan keyakinan dan dorongan keluarga yang cinta kesenian sebagai pendukung sejatinya dalam berkesenian. Maklum ia lahir dan hidup dari keluarga yang amat suka mengabdikan diri untuk membesarkan khazanah kesenian Bali. Ayahnya, I Wayan Saplug, dikenal sebagai penabuh terompong piawai. Adapun ibunya, Ni Ketut Samprig, adalah penari arja yang berbakat dan dikenal masyarakat pecinta seni tradisional Bali. Selain itu ada kakaknya yang juga dikenal gila seni, I Wayan Dia, kini menjadi dalang dan penari topeng yang tinggal di Jakarta.
Kesungguhan menekuni kesenian arja bagi Arini menjadikan dirinya menemukan kebenaran hidup seperti yang diwariskan gurunya, I Wayan Rindi, yang juga pamannya. Ketika Rindi mengajar Arini menari, suatu kali ia pernah menyampaikan pesan agar Arini dan keluarganya melakoni, hidup dengan, kesenian. Tak terkecuali, apa pun bentuk kesenian tersebut. Rindi berkeyakinan hanya dengan berkesenian yang sujati (sejati)-lah orang akan menemukan arti hidup sekaligus ketulusan mengabdi baik kepada masyarakat maupun Ida Sang Hyang Widhi.
• Alamat : Jl. Kecubung, Sumerta Kaja, Kec. Denpasar Tim., Kota Denpasar, Bali, BANJAR LEBAH, DESA SUMERTA KAJA, Denpasar Timur
• No Telp. : 0
• Tempat/Tgl Lahir : Denpasar, 15 Maret 1943
• Menekuni Sejak : 01 Januari 1967
• Nama Suami/Istri : I Gusti Made Alit
• Nama Ayah/Ibu : I Wayan Saplug • NI Ketut Samprig
• Nama Anak : • Gusti Putu Alit Arini • Gusti Made Arianta • Gusti Putu Ari Rutini
Sumber Informasi : -
IDA CRI BHAGAWAN SABDA MURTI DARMA KERTI MAHA PUTRA MANUABA
- Tahun 1977 hingga pensiun muda mengabdi sebagai ...
DESA DAUH PURI KAUH
IDA SRI BHAGAWAN SABDA MURTI DARMA KERTI MAHA PUTRA MANUABA
1. Tahun 1977 hingga pensiun muda mengabdi sebagai...
DESA DAUH PURI KAUH