desa
banjar
pura
puri
subak
kesenian
situs budaya
lokasi wisata
sulinggih
lpd
pasar
tokoh seni tari
tokoh seni musik/tabuh
tokoh seni karawitan
dalang
tokoh sastra
tokoh seni drama
tokoh seni patung
tokoh seni ukir
tokoh seni lukis
pemangku
tukang banten
sekaa tabuh
sanggar tari
sanggar karawitan
sanggar pesantian
sanggar arja
sanggar wayang
sanggar dolanan
sanggar lukis
Author : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar
Post on : Jul 17 2018 :: 12:49:47 PM
Viewed by : 1539 people
Di antara banyak tokoh sastra daerah, Dewa Made Oka mungkin termasuk tokoh langka, karena ia tidak begitu mudah menerima kritik teks yang dilakukan sejawatnya. Sebagai seseorang penekun sastra, Made Dewa Oka kadang cukup hati-hati memperlakukan teks. Dalam hal mabebasan, misalnya ia sungguh menyadari bahwa pengetahuan kereta basa (tata bahasa) sangat penting. Ia juga cukup fanatic dengan keindahan-keindahan estika karya sastra, untuk tidak melakukan pemerkosaan teks.
Dewa Made Oka dilahirkan di Kesiman pada tahun 1930, sebuah masa yang baginya cukup memperhatikan karena kolonialisme belanda sedang kencang mendera bangsa ini. Putra pasangan Dewa Made Pegung dengan Jero Nesa ini mengaku mulai belajar surat lontar sejak menimba ilmu di Vervolg School. Ia lupa tahun kelulusannya.
Guratan pangrupak (pisau tajam yang digunakan sebagai alat tulis) Dewa Nyoman Oka memang mengaggumkan. Maka, sejak tahun 1963, dengan sungguh-sungguh mulai melakukan kerja penyalinan lontar-lontar (nedun), terutama sejumlah kakawin yang dianggap monumental. Misalnya, Ramayana, Bharatayudha, Sutasoma, Bomakawiya, Partayajna, Siwaratrikalpa, dan lain sebagainya.
Pekerjaan nedun tersebut dilakukan disela-sela kesibukannya sebagai pakase (kepala) subak. Lumayan, selama 17 tahun ia mengabdikan diri sebagai klian subak. Made Oka mengaku belajar bahasa Jawa Kuno dengan intensif ditahun 1955. Ketika itu ia mengikuti kursus pengetahuan umum, di antaranya bahasa Jawa Kuno adalah bidang yang diajarkan. Pengajarnya waktu itu adalah I Gusti Bagus Sugriwa. Dewa Made Oka sangat mengaggumi tokoh ini.
Karena kemampuan standar bahasa Jawa Kunonya bagus, tulis tangannya indah dengan pasang aksara Bali dapat dipertanggungjawabkan, Dewa Made Oka sering diminta masyarakat umum menulis prasasti, babad, awig-awig, dan sebagiannya. Ia juga diminta mengalih bahasakan prasasti dari bahasa Bali lumbrah ke dalam bahasa Kawi, seperti misalnya, babad Bali Aga yang sekarang dikeramatkan oleh salah satu warga di Besakih. Dalam penuturannya, bahwa 99% awig-awig yang ada di kabupaten Badung adalah hasil tulisan tangan Dewa Made Oka. Sejumlah guratan tangannya juga sampai di Tabanan, Bangli, dan Negara.
Pada tahun 1978 atas permintaan guru Reta, ketua yayasan perguruan Dwijendra, Dewa Made Oka dipekerjakan di perpustakaan lontar Universitas Dwijendra. Dari sini ia lantas nedun (nyalin) karya-karya sastra Dang Hyang Niratha, Ida Pedanda Sidemen, Ida Cokorda Mantuk. Hampir semua karya ketiga pengarang besar ini sudah selesai di tedun. Universitas Dwijendra, Dewa Made Oka telah menyalin ratusan lontar, meliputi nasah-naskah agama, tutur (filsafat kerohanian) usada (pengobatan), wiraga (astronomi dan astrologi), geguritan, kidung, kakawin, parwa (prosa), dan sebagainya.
Pesantian yang ia dirikan bersama Guru Reta di masa penjajahan Jepang, yakni Pesantian Wiraga Sandhi menjadi ‘sekolahnya’ memperdalam bahasa Jawa Kuna. Ia menyadari penuh karena kebiasaannya menyalin teks, maka ia bisa melakukan kritik teks, Dewa Oka kadang membetulkan kembali pasang aksara dan kata-kata yang salah tulis pada naskah yang ia turun.
Karya pertama yang di-tedun oleh Dewa Made Oka adalah karya Raja Badung Cokorda Mantuk Dirana, yakni Geguritan Nengah Jimbaran. Ia tertarik pada naskah ini, karena bahasanya. Nengah Jimbaran mungkin satu-satunya naskah Bali yang memakai bahasa Melayu pada zaman itu. Dewa Made Oka menganggap ini sebuah tegangan sekaligus ‘pemberontakan’ dari tradisi yang hidup ketika itu. Entah beberapa kali ia telah nedun (menyalin) karya Raja Badung ini, sampai-sampai ia lupa bahwa naskah ini sempat dihadiahkan sebagai cendera mata buat pejabat Dirjen Kebudayaan ---ia sendiri lupa siapa nama pejabat bersangkutan.
Dewa Made Oka boleh berbangga, karena sebagian besar naskah tedunannya dikoleksi oleh para peneliti sastra, di antaranya yang ia ingat adalah Ida Bagus Gede Agastia, pakar sastra Jawa Kuna.
Selain membina di beberapa pesantian, Dewa Made Oka sering diminta RRI dan TVRI Stasiun Denpasar mengisi acara-acara pesantian. Yang paling menarik, ia sempat melantunkan bait-bait kakawin Anyang Niratha pada acara Nusa Ning Nusa TVRI Stasiun Denpasar.
Kini Oka sedang menyelesaikan salinan lontar Tantu Paglaran, sebuah naskah prosa Jawa Tengahan. Di rumahnya, di kawasan Kesiman, saban sore ia memberikan pelajaran nyurat lontar beberapa mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Udayana. Ia juga membantu mahasiswa dalam hal terjemahan untuk kepentingan penulisan skripsi.
Dewa Made Oka tidak merasa hadir sebagai tokoh yang dianggap tahu, namun ketekunannya memberi ia pengakuan bahwa ia sesungguhnyalah seorang tokoh. Maka, pada tahun yang ia sendiri lupa, Oka mendapatkan piagam penghargaan dari Bupati Badung Pande Made Latra. Piagam itu bernama Kerti Budaya, yakni anugerah atas ketekunannya mendalami sastra daerah Bali.
• Alamat : -, BANJAR KEDATON, DESA KESIMAN PETILAN, Denpasar Timur
• No Telp. : 0
• Tempat/Tgl Lahir : Denpasar, 17 Juli 1930
• Menekuni Sejak : 01 Januari 1937
• Nama Suami/Istri : -
• Nama Ayah/Ibu : Dewa Made Pegug • Jeeo Nesa
• Nama Anak : • -
Sumber Informasi : -
Ida Shri Bagawan Prabu Yoga
Menjadi dosen dan ikut pejraman kepemangkuan serta...
DESA KESIMAN KERTALANGU