desa
banjar
pura
puri
subak
kesenian
situs budaya
lokasi wisata
sulinggih
lpd
pasar
tokoh seni tari
tokoh seni musik/tabuh
tokoh seni karawitan
dalang
tokoh sastra
tokoh seni drama
tokoh seni patung
tokoh seni ukir
tokoh seni lukis
pemangku
tukang banten
sekaa tabuh
sanggar tari
sanggar karawitan
sanggar pesantian
sanggar arja
sanggar wayang
sanggar dolanan
sanggar lukis
Author : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar
Post on : Jul 17 2018 :: 02:44:37 PM
Viewed by : 3831 people
Seandainya I Wayan Rindi tidak dipungut oleh seorang petani dari Banjar Tegal Linggah, mungkin nasibnya menjadi lain, karena ia memang tak pernah membayangkan menjadi seorang penari. Kisah hidupnya pun menjadi sangat unik. Mula pertama di tahun 1930-an, masyarakat Badung digegerkan oleh tari gandrung lawangan. Begitu larisnya sekaa ini, sehingga dalam satu malam, tak jarang ia harus pentas dua sampai tiga kali. Bayangkan untuk sebuah perjalanan ngelawang, apakah tidak banyak menguras tenaga. Seperti tersedot, penonton menjadi tergila-gila oleh figur cilik oenari gandrung, namanya Wayan Rindi. Setiap hari sekaa ini harus menempuh jarak perjalanan dua sampai enam kilometer. Semua penari, penabuh, dan penata rias harus jalan kaki, terkecuali bocah I Wayan Rindi harus dibonceng dengan sepeda.
Bagaimana kisah I Wayan Rindi, kelahiran Banjar Lebah, tahun 1917 ini bisa menjadi sekaa gandrung di Banjar Tegal Linggah? Suatu hari I Wayan Rindi sedang menggembalakan ternak di sawah. Tiba-tiba ia dihampiri oleh seorang petani dari Banjar Tegal Linggah, petani ini tertarik pada bentuk dan kondisi tubuh I Wayan Rindi, ia tepat sekali menjadi penari gandrung. Maka, petani dari Banjar Tegal Linggah ini menawarkan pada bocah ingusan bernama Rindi untuk menjadi penari gandrung. Rindi menerima tawaran itu. Maka, diajaklah I Wayan Rindi ke Banjar Tegal Linggah dan menetap di Rumah Ketut Karya. Saban hari ia mekemit di Geria Pamedilan.
Sekaa gandrung Banjar Tegal Linggah tampaknya sangat bersemangat menjadikan I Wayan Rindi penari gandrung yang baik. Rindi sendiri seperti mengebor bakatnya yang luar biasa itu, ketika mulai didatangkan sejumlah guru tari, seperti I Wayan Lotering dari Kuta, I Nyoman Kaler dari Pemogan dan penabuh I Regog dari Banjar Ketapean. Mualailah gandrung cilik dari Banjar Lebah ini mempesona penonton dan semua masyarakat Denpasar tahu siapa I Wayan Rindi.
Mpu Tari I Nyoman Kaler tahu, bahwa anak kecil bernama I Wayan Rindi mempunyai bakat luar biasa. Dan begitu namanya menanjak sebagai penari gandrung. Rindi diangat menjadi murid kesayangan. Berkat didikan Nyoman Kaler, Rindi tidak hanya sanggup menarikan gandrung dengan piawai, namun ia juga menguasai semua jenis tari Bali klasik.
Rindi layaknya seorang pemburu, citra seninya menjadi teramat ningrat, terbukti ia sempat berguru kepada tokoh-tokoh tari yang pada zamannya telah benar-benar seorang Mpu. Demikianlah ia pernah belajar tari pada I Gusti Ngurah Raka dari Puri Beng Tabanan, Ida Bagus Boda dari Kaliungu, Ida Bagus Anom dari Gianyar, Anak Agung Raka dari Sukawati.
Selepas dari perguruannya, Rindi dipercaya oleh sejumlah sekaa di Denpasar untuk mengajar di beberapa banjar dan mendirikan sekaa-sekaa baru. Tahun 1938-1939 ia mulai mengajar tari legong di Begawan Kuta dan Kerobokan. Melahirkan penari terkenal di antaranya Ni Putu Ayu, Ni Pasek, Gusti Made Rai, Ni Nyoman Condra, Ni Muri, dan Ni Ribeg. Pada tahun 1940 ia mengajar di Banjar Babakan Sukawati, melahirkan penari I Dewa Made Doyot, Ni Robin, Ni Suri. Di Banjar Badung Sibang, tahun 1943 ia mengajar tari legong dan kebyar, melahirkan penari AA Raka, Si Luh Nyoman, Ni Mungkrug, Ni Luh Candri. Di sini pula ia sempat menciptakan drama tari Sugriwa-Subali.
Menjelang kemerdekaan, di tahun 1945, Rindi sempat mengajar di Desa Tegeh Kori, dan melahirkan penari Ni Botor, Ni Luh Mendri, Ni Made Rupa. Di sini ia menciptakan drama tari dengan lakon Prabu Kangsa dan Prabu Waringin Bang. Tiga tahun setelah kemerdekaan, tepatnya tahun 1945 ia mengajar tari di Tegal Cangkring (Negara), dengan penari Ni Rapig, Ni Nengah Jempiring, dan Ni Padri. Setahun di Negara ia mengajar di Abianjero Karangasem, melahirkan penari I Ketut Catur dkk. Tahun 1951 ia mulai mengajar di Perguruan Rakyat (PR) Saraswati dan karena jumlah penarinya begitu banyak Rindi mulai menggagas metode pengajaran tari, yang nantinya dikembangkan di KOKAR Bali. Dan untuk pertama kalinya di tahun 1952 Rindi membuka kursus tari dengan metode pengajaran yang dirancang sendiri.
Rindi ternyata punya pengalaman tari yang telah mendunia. Anak pasangan I Ketut Lantur dengan Ni Gubrig ini ternyata telah beberapa kali keliling dunia. Di tahun 1950 untuk pertama kalinya ia memimpin rombongan kesenian ke luar daerah Bali, yaitu ke Surabaya. Tahun 1951 – 1956, setiap bulan Agustus ia menari di Istana Negara, Jakarta. Tahun 1955, untuk pertama kali ia melawat ke luar negeri, yakni ke Pakistan Timur, memimpin rombongan kesenian dari Bali. Tahun 1962 ia melakukan diplomasi budaya ke Rusia. Tak sampai disana, setahun setelah peristiwa G/30S/PKI, ia melawat ke Afrika Timur dalam sebuah misi kesenian. Tahun 1969 selama sebulan penuh ia berada di Amerika dalam acara misi kesenian pula. Tahun 1966-1974 ia ikut mengajar di ASTI Bali.
Ayah empat anak ini, meninggalkan sejumlah karya monumental, antara lain Tari Panji Semirang, Tari Pendet, dan sejumlah karya yang tak sempat tercatat. Dua dari empat anaknya kini juga menuruti jejak sang ayah, sebagai seniman pada zamannya. Tahun 1979 Rindi memperoleh piagam Dharma Kusuma dari Kepala Daerah Tingat I Bali, Prof. Dr. Ida Bagus Mantra. Piagam Siwantaraja diperolehnya tahun 1995 dari Ketua STSI Denpasar, Prof. Dr. I Made Bandem.
• Alamat : Br. Lebah, BANJAR LEBAH, DESA SUMERTA KAJA, Denpasar Timur
• No Telp. : 0
• Tempat/Tgl Lahir : Denpasar, 18 Juli 1917
• Menekuni Sejak : 17 Juli 2018
• Nama Suami/Istri : -
• Nama Ayah/Ibu : I Ketut Lantur • Ni Gubrig
• Nama Anak : • -
Sumber Informasi : -