desa

banjar

pura

puri

subak

kesenian

situs budaya

lokasi wisata

sulinggih

lpd

pasar

tokoh seni tari

tokoh seni musik/tabuh

tokoh seni karawitan

dalang

tokoh sastra

tokoh seni drama

tokoh seni patung

tokoh seni ukir

tokoh seni lukis

pemangku

tukang banten

sekaa tabuh

sanggar tari

sanggar karawitan

sanggar pesantian

sanggar arja

sanggar wayang

sanggar dolanan

sanggar lukis

Tokoh Seni dan Budaya di Kota Denpasar

I Nyoman Suarsa • Desa Dauh Puri Kaja

Author : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar

Post on : Jul 17 2018 :: 03:04:06 PM

Viewed by : 4037 people

I Nyoman Suarsa • Seni Tari


Nama I Nyoman Suarsa sangat lekat dengan perkembangan kreasi baru seni tari Bali. Itu karena seniman yang lebih dikenal sebagai koreografer alias penggubah sekaligus penata tari ini menceburkan dirinya secara penuh dalam kancah seni tari Bali. Banyak kalangan mengenal Suarsa sebagai seniman yang dinamis. Ketika kecil ia sering melihat anak-anak latihan menari Bali di sebuah rumah tetangganya di Wangaya, Denpasar. Anak-anak itu dilatih guru tari Anak Agung Alit Suka dari Desa Kapal, Badung. Bermula dari kebiasaan menyaksikan orang latihan menari inilah kecintaan pria yang akrab disapa Yan Pung ini akhirnya bersemi. Ketika itu, dalam hati sebenarnya ia sangat gemas melihat anak-anak yang latihan menari itu susah menangkap pelajaran tari dari sang guru. Yan Pung tak sabar. Dalam hati ia merasa mampu menarikan apa yang diajarkan oleh sang guru tari itu. Karenanya, di rumah diam-diam dia menirukan sendiri gerakan-gerakan tari yang dilihatnya.

                Hanya dengan melihat beberapa kali orang lain latihan tari ia telah tahu bagaimana bentuk tarian yang seharusnya ditarikan tersebut. Ia juga dapat memahami dasar penguasaan tari Bali berupa agem, tandang, dan tangkep. Dasar ini menjadikan ia tahu, mana gerakan tari yang disebut malpal, mungkah lawang, nabnab gelung, urangka, dan sejenisnya.

“Beh kalau saya diberikan kesempatan belajar menari begitu mungkin saya kalahkan mereka,” gumamny kala itu.

                Suara ternyata tak sekedar berguyon. Jiwanya makin berkelebat dan hasratnya tergiring pada gerakan tari yang sering dilihatnya. Ia pun tak sanggup menahan kelebat jiwanya untuk menari bersama anak-anak itu. Ia pun mohon izin kepada ayahnya, Nyo Ju Chiang, agar diberikan ikut belajar menari bersama anak-anak tersebut. Di luar dugaan ayhnya yang bebotoh tajen (penjudi sabungan ayam) ternyata sangat mendukung kemauan anaknya belajar menari. Maka, resmilah sejak usia 12 tahun Suarsa menjadi murid tari Anak Agung Alit Suka.

                Awalnya sang guru tari itu sempat ragu dengan kemauan Suarsa yang terkesan sekedar iseng. Maklum, ia memang tidak punya dasar seni tari Bali karena ia lahir dari etnis Tiongkoa yang sehari-hari dikenal dengan bebotoh. Namun ia tak peduli dengan dugaan tak sedap demikian. Ia malah makin yakin, suatu ketika akan menjadi murid yang baik.

                Demikian, tahap demi tahap latihan tari ia ikuti sesuai perintah sang guru. Selain latihan bersama anak-anak di lingkungannya, ia juga tekun memperdalam latihan sendiri di rumahnya. Hasilnya, secara teknis ia lebih cepat dan bagus menguasai gerakan tari dibandingkan dengan murid-murid lainnya yang belajar lebih dulu. Sang guru pun dibuatnya terkejut dengan gerakan tariannya yang tampak hidup, bertenaga, dan terpola. “Di mana kamu pernah belajar tari sebelum belajar di sini,” tanya sang guru, Alit Suka. Hingga tamat SD 7 Dangin Puri Denpasar ia telah menguasai tari baris dengan baik.

                Suasa memang suntuk menekuni jagat tari. Selain kemauannya sendiri yang keras, ayahnya juga sangat ketat mengawasi gerak langkahnya. Dan sang ayah merasa sangat senang begitu melihat sang anak sedang latihan menari Bali. Ayahnya bahkan tak jarang marah jika sehari saja Suarsa tidak muncul di tempat latihan menari.

                Setelah tamat SD, Suarsa melanjutkan ke SMP. Selama masuk SMP ia rajin menekuni ilmu bela diri pencak silat asuhan Yayasan Bhakti Negara Denpasar. Dari beberapa tahapan latihan, salah seorang pendekar Bhakti Negara , Bagus Keplag, mengetahui Suarsa sesungguhnya lebih cocok menekuni seni bela diri silat. Ini diketahui karena hampir setiap gerakan silatnya sangat mengandung nilai seni dibandingkan silat bela diri biasa. Ini tentu saja nilai lebih tertentu untuk ukuran penguasaan pada tingkat anak-anak.

                Semasa SMP, Suarsa lebih mengarahkan pergaulannya dengan anak- anak yang menyukai seni di Desa Sumatera, Denpasar Timur. Langkahnya ini sama sekali tidak bertujuan menghianati teman-temannya di Wangaya, melainkan pergaulannya itu tiada lain untuk lebih memastikan keyakinannya belajar menari. Ia tahu, di Sumatera sudah ada sejumlah anak yang biasa menguasai tarian baris sehingga ia merasa perlu mengadopsi kemampuan temannya itu.

                Setelah tamat SMP tahun 1973, Suarsa melanjutkan sekolah ke Kokar (Konservatori Kerawitan) Denpasar. Sekolah ini dipilihnya semata untuk memperdalam penguasaan dan pengetahuan tari. Ia tak membayangkan kelak akan jadi apa setelah tamat Kokar. “Yang ada di pikiran saya, tamat Kokar pasti bisa menari,” kenangnya.

                Di sekolah seni ini, ia banyak menemukan kekurangan dirinya dalam bidang penguasaan tari. Ia ditempa oleh sejumlah guru yang dikenal sebagai tokoh tari Bali, antara lain I Gusti Bagus Panji (guru dan Kepala Sekolah Kokar), Anak Agung Dibia (penari Kebyar Terompong), I Wayan Berata (seniman tabuh dan tari), dan Alit Arini (seniman tari). Curahan para guruseni ini membuat Suarsa makin yakin akan menemukan bentuk tarian yang benar. Berkat para guru itu pula ia bisa menguasai teknik mencatat gerakan tari dalam pikirannya.

                Pada masa sekolah di Kokar ini, Suarsa merasa lebih yakin akan bisa tampil sebagai seniman aktif. Hal itu ia buktikan dengan membentuk Sanggar Tari di Lilabuana di bawah bendera Himpunan Senimsn Remaja (HSR) Badung sejak tahun 1974 sampai 1976. Perhelatan sanggar tari yang didukung puluhan seniman Badung ini berhasil menciptakan garapan sendratari yang dimainkan anak-anak dengan judul Parama Satya, mengangkat tema cerita kepahlawanan.

                Tamat Kokar tahun 1977, Suarsa melanjutkan sekolah ke ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) Denpasar, Namun ia tak mulus belajar di akademi yang ia impikan ini karena kesulitan biaya. Ia baru bisa kuliah jika sudah cukup modal. Kondisi ini menjadikan dia sebagai seniman muda yang dituntut bisa mandiri. Selain aktif di sanggar tari, ia juga berusaha sebagai tenaga pengajar honorer di Kokar. Selain itu, ia rajin mengikuti pentas di berbagai tempat di Bali dan Jakarta bahkan ke luar negeri. Dana yang diperoleh dari aneka kegiatan itulah yang dikumpulkannya untuk biaya kuliah. Ujung-ujungnya ia hanya berhasil menyelesaikan kuliah hingga semester VII. “Tanpa gelar sarjana seni memang kurang pas. Tapi, saya tak menyesali itu,” katanya.

                Kendatipun tidak sampai meraih gelar sarjana, banyak hal yang ia peroleh dari ASTI. Ia mendapatkan pengetahuan praktis tentang merancang garapan sekaligus membuat komposisi garapan tari. Ilmu ini telah mangangkat dirinya selain sebagai seniman tari sekaligus juga seorang koreografer (pencipta tari) Bali.

                Sebagai manusia biasa, ia pun sempat mengenyam pengalaman pahit. Ketika diangkat sebagai pegawai tata usaha yang diperbantukan sebagai guru di Kokar, ia sempat lima bulan tidak menerima gaji, tanpa alasan pasti. Akibatnya ia jarang masuk kerja hingga perlahan-lahan ia berhenti total. Selama berhenti itulah ia aktif menghidupkan Sanggar Tari Printing Mas, sejak tahun 1982 bernama seniman I Wayan Warta (Oklan). Di sini ia menerapkan ide-ide cemerlang.

                Selain pentas, ia juga menyewakan dan menjual berbagai jenis pakaian tari Bali. Sanggar Tari Printing Mas ini terbilang sukses selain karena dukungan puluhan seniman muda juga berkat dukungan sang istri tercintanya, Ni Ketut Srinadi, jebolan Kokar yang juga seniman tari dari Binoh, Ubung.

                Sebuah garapan sanggar ini yang diakui, populer, dan monumental adalah mengangkat kesenian klasik arja muani yang nyaris punah. Biasanya, yang mendukung seni arja kebanyakan penari-penari perempuan, namun pada arja muani, sesuai namanya,  semua pendukungnya adalah laki-laki. Termasuk peran tokoh perempuan pun dimainkan oleh laki-laki. Muani dalam bahasa Bali memang berarti “laki-laki”. Dari sisi para pemerannya saja jelas arja muani sebuah karya garapan yang khas, lain daripada seni arja lainnya. Karena format penggarapannya yang khas inilah menjadikan arja muani versi Printing Mas sangat digemari banyak kalangan dan sangat dikenal di seantero Bali. Pertunjukkannya yang penuh dibumbui banyolan-banyolan cerdas, aktual, serta kontekstual dengan situasi mutakhir senantiasa dipadati penonton. Jadwal pentasnya pun padat hampir setiap malam ada permainan pentas.

                Itu semua ternyata belum mebuat Suarsa puas. Selain membina tari lewat Sanggar Tari Printing Mas, ia juga mendirikan sanggar tari lagi di Wangaya. Pendirian sanggar ini diilhami oleh almarhum Prof Dr Ida Bagus Mantra, saat masih menjabat Gubernur Bali. Ketika itu, Pak Mantra terkagum-kagum menonton sendratari yang antara lain menampilkan tokoh Karna. Penampilan sosok Karna dalam sendratari Mahabrata pada PKB (Pesta Kesenian Bali) di Taman Budaya Denpasar beberapa tahun lalu itulah yang mengundang decak kagum Ida Bagus Mantra. Ia pun ingin mengenal lebih jauh siapa pemeran tokoh Karna itu. Hasilnya?

                Pak Mantra sangat kaget, begitu mengetahui bahwa yang memerankan tokoh Karna dalam sendratari itu adalah Suarsa alias Yan Pung. Semula, gubernur yang dikenal sebagai budayawan ini menduga tarian Karna yang memukaunya itu pasti ditarikan oleh penari asal Gianyar. Nyatanya, dugaan itu meleset. Bukan dari Gianyar (yang memang dikenal sebagai ‘gudang’ seniman), melainkan dari Wangaya, di jantung kota Denpasar yang jaraknya hanya beberapa meter di sebelah barat rumah dinas Gubernur Bali di Jayasabha. Wangaya dalam peta jagat kesenian Bali sama sekali tak dicatat sebagai ‘daerah seniman’, bahkan nyaris tak ada tradisi berkesenian, seperti di Banjar Binoh atau Pedungan, misalnya.

                “Saya sungguh tak menyangka kamu ini Karna dari Wangaya. Tolong bikin sanggar tari di sana dan kamu sendiri yang mengasuhnya,” pinta Gubernur Mantra ketika itu.

                Begitulah, nama Suarsa makin melambung, mengimbangi kibar Pesta Kesenian Bali. Semasa berhenti menjadi pegawai negeri di Kokar, Suarsa sempat diminta membina penggarapan sendratari Kanwil Depdikbud Bali tahun 1996 guna dipentaskan di ajang Pesta Kesenian Bali. Pada garapan sendratari berjudul Watu Gunung ini, selain menata tari secara keseluruhan Suarsa juga memerankan tokoh sentralnya, Watu Gunung.

                Tak urung, Kepala Kanwil Depdikbud Bali Drs Berata Subawa pun sangat terpukau dengan garapan Yan Pung itu. Ujung-ujungnya, orang nomor satu di Kanwil Depdikbud itu menawari Suarsa agar bekerja di Bidang Kesenian kantor yang dipimpinnya tersebut. Menurut Berata Subawa, kehadiran Suarsa setidaknya akan menghilangkan kesan pembinaan seni oleh pemerintah sekadar teori, melainkan lebih praktis dan pragmatis. Dan, Suarsa pun menerima tawaran itu sekalipun sebelumnya tak pernah membayangkan akan kembali bekerja di kantor pemerintah.

                Sebagai seniman kreatif, Suarsa memang tidak gampang puas dengan garapan-garapannya, meskipun dengan tariannya ia mengaku bisa menemukan kepuasan batin, terutama bila pertunjukannya dapat menyenangkan orang banyak. Sebaliknya, ia sering menghadap ‘penyakit’ ruwet pikiran tatkala ide-idenya amat sulit diterjemahkan dalam bentuk garapan seni.”Saya pasti sulit tidur jika pentas garapan saya rasakan kurang memuaskan penontonnya,”katanya.

                Menurutnya, penguasaan seni (tari) haruslah didasari kemauan keras yang dibarengi ketekunan berlatih. Soal berbakat atau tidaknya seseorang, bagi dia adalah perkara nomor dua. Prinsip inilah yang dia tanamkan pada dirinya sendiri maupun kepada murid-muridnya dalam berkesenian. “Saya jamin rumusan prinsip ini cukup manjur dalam proses penguasaan tari,” ujarnya, yakin.

                Suatu kali, ia pernah didatangi seorang pemuda keturunan Tionghoa untuk belajar menari baris sebagai syarat bisa bersekolah di Australia. Anak muda ini minta diajari menari dengan jaminan sebulan bisa menguasai satu jenis tari baris karena terdesak jadwal keberangkatan ke Australia. Suarsa pun melid (‘nyinyir’) menegaskan kepada anak muda tadi agar berkemauan keras, sekalipun ia sama sekali belum pernah melihat tari baris. “Kalau Anda benar-benar serius dan berkemauan keras, biarpun tak berbakat itu tak masalah. Saya akan latih Anda dan dalam waktu sebulan Anda saya jamin bisa menguasai satu jenis tarian baris,” kata Suarsa kala itu.

                Syarat yang dijatuhkan Suarsa itu ternyata membuahkan hasil sesuai harapannya. Di samping karena kemauan keras pemuda itu, tempaan Suarsa yang keras menjadikan si pemuda tidak sampai sebulan (hanya 22 hari) sudah menguasai satu tarian baru.

                Suarsa memang senima yang penuh percaya diri dan keras terhadap dirinya sendiri maupun anak didiknya. Ini karena dia mengaku diilhami oleh lika-liku kehidupan seniman tempo dulu. Ia tertarik dengan ketekunan dan keteguhan sikap seniman tempo dulu yang akhirnya melahirkan sosok seniman utuh serba bisa. Maka, di balik kepopuleran namanya kini ia tetap mengaku sangat rindu bisa tampil nyeni seperti seniman-seniman Bali termpo dulu yang dikenal memang sangat madengen, berkharisma dalam setiap pementasannya. “Saya tak pernah puas, dan saya bertekad harus belajar dan menekuni kesenian sampai akhr hayat,” katanya.


•   Alamat   : Jl. Kartini No.20, Dauh Puri Kaja, Kec. Denpasar Utara, Kota Denpasar, Bali, BANJAR WANGAYA KELOD, DESA DAUH PURI KAJA, Denpasar Utara

•   No Telp.   : 082146528720

•   Tempat/Tgl Lahir   : Denpasar,   17 Maret 1957

•   Menekuni Sejak   :   17 Juli 1969

Detail Lainnya


•   Nama Suami/Istri   : Ni Ketut Srinadi

•   Nama Ayah/Ibu   : Nyo Ju Chiang • Made Sukerti

•   Nama Anak   : • Putu Desta Kharisma  • Made Banda Prawira  

Hasil Karya


Penghargaan


Sumber Informasi : -

Tokoh Seni dan Budaya Lainnya di kec. Denpasar Utara