desa

banjar

pura

puri

subak

kesenian

situs budaya

lokasi wisata

sulinggih

lpd

pasar

tokoh seni tari

tokoh seni musik/tabuh

tokoh seni karawitan

dalang

tokoh sastra

tokoh seni drama

tokoh seni patung

tokoh seni ukir

tokoh seni lukis

pemangku

tukang banten

sekaa tabuh

sanggar tari

sanggar karawitan

sanggar pesantian

sanggar arja

sanggar wayang

sanggar dolanan

sanggar lukis

Tokoh Seni dan Budaya di Kota Denpasar

I Made Sukada • Desa Sanur Kauh

Author : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar

Post on : Jul 17 2018 :: 03:07:49 PM

Viewed by : 2843 people

I Made Sukada • Seni Kesusastraan


I MADE SUKADA, lebih dikenal sebagai dosen daripada seniman. Sebagai dosen, Sukada mengajar mata kuliah, sastra, terutama dibidang teori sastra.  Pengetahuannya dibidang seni sastra memang luas, terutama setelah diamenyelesaikan pendidikan pascasarjana Fakultas Sastra di UGM tahun 1982.

                Dua buku teori sastranya sudah terbit, masing-masing Beberapa Aspek tentang Sastra (Penerbit Kayumas dan Yayasan Ilmu dan Seni Lesiba Denpasar, 1987)dan Pembinaan beberapa Kritik Sastra Indonesia: Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi (Penerbit Angkasa, Bandung, 1987 dan 1991). Tentang kedua buku itu, Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus, Guru Besar Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana (Unud), dalam pidato budaya memperingati “60 Tahun Made Sukada” 2 April 1998, menyebutkan bahwa sebagai buku baik karena banyak dijadikadn acuan atau refrensi oleh mahasiswa dan sarjana yang belajar sastra di Indonesia. Ini menunjukkan bahwa sukada berhasil di bidang keilmuan yang ditekuninya.

                Jika riwayat hidupnya ditelusuri kebelakang, Sukada sebetulnya seorang penyair atau seniman, bahkan budayawan. Bakatnya di bidag cipta puisi sudah mulai dikembangkan ketika Sukada duduk di SMA. Ketika di sekolah menengah itu, Sukada sering menulis cerita pendek (fragmen) dan puisi. Belakangan dia banyak menulis artikel budaya, antara lain maslaah apresiasi sastra.

                Produktifitasnya sebagai penulis membukakan jalan bagi Sukada untuk bekerja sebagai redaktur budaya Harian Suluh Marhaen (kini bernama Bali post), membantu K. Nadha (pemimpin Umum Bali Post) dan wartawan/redaksi lain, seperti I Wayan Bawa dan Widminarko, keduanyana kolega Sukada dari Jurusan Sastra Indonesia Unud. Ketika bekerjansebagai redaktur budaya itu, Sukada banyak menulis tinjauan sastra dan budaya, menulis artikel tentang perlombaan puisi dan kegiatan apresiasi sastra lainnya yang berlangsung semarak di Denpasar tahun 1960-an/1970-an.

                Made sukada termasuk salah satu penyair Bali yang terkemuka di zamannya. Tahun 1969, ketika penyair-penyair Bali menerbitkan antologi puisi yang kemudian diberi judul Penyair bali, diterbitkan oleh Himpunan Pengarang Indonesia (HIMPI) Bali, sajak-sajak Sukada masuk di dalammnya, tiga jumlahnya, yaitu “Kepada Istri dan Anakku”,” Kemarau”,dan “Sebuah Cerita”, semuanya ditulis di Singaraja. Meskipun sajak-sajak tersebut mengungkapkan masalah domestic (tumah tangga atau keluarga), di dalamnya juga terkandung kritik pedas terhadap hubungan sesama manusia secara lebih luas.

                Penyair lain yang sajaknya dimuat dalam antologi Penyair bali, antara lain I Nyoman rasta Sindhu, Faisal Baraas, IGB Arthanegara, Raka Santeri, Putu Wijaya, Paulus Yos Adi Riyadi, Judha Paniek, Gde Dharna, Putu Arya Tritawirya.

                Sebagai penyair, Sukada sudah menerbitkan tiga kumpulan puisi, masing-masing berjudul Sebuah Ilusi (HIMPI, 1973), dan kumpulan sajak bersama penyair ig Rachmat Supandi berjudul Tuhan Telah Datang Padaku (Lesiba, 1975). Antologi puisi Sebuah Ilusi diterbitkan dalam rangka menyambut hari ulang tahun ke-3 Himpunan Pengarang Indonesia bli, 18 Februari 1970. Dalam kumpulan puisi ini, ketiga sajak Sukada yang pernah terbit dalam kumpilan Penyair Bali dimuat ulang disini.

                Yang paling menarik adalah sajak-sajak Sukada tentang Denpasar. Dalam kumpulan Denpasar dalam sajak, Sukada menerbitkan 14 buah sajak yang semuanya memotret perangai kota Denpasar. Siapa pun yang sudi membaca kumpulan sajak ini akan bertenu dengan sajak-sajak berjudul: “Jalan Gajah mada”, “ Jalan Diponogoro”, “Penjara Denpasar”, “Stasiun Bus”, “Taman Ayun”, “Pura Merta Sari”, “Museum Bali”, “Theatre”, “Gedung Lila Bwana”, “Pantai Kuta”, “HBB”, “Semawang”, “Taman Kanak-Kanak Indra Loka”, dan “Taman Lila Ulangun Oongan”.

                Sajak-sajak tersebut boleh dianggap sebagai catatan sejarah unik kota Denpasar pada suatu waktu di masa lalu (1970-an) dari seorang penyair dengan segala imajinasinya. Ketika Denpasar beubah dan terus berubah dewasa sejalan dengan program pembangunan dan modernisasi yng dihembuskan globalisasi, maka ada hal-hal yang hilang di Denpasar tetapi tercatat dalam kumpulan sajak Sukada ini; ada hal-hal yang dulu populer tetapi kini tak terdengar lagi juga tercatat dalam sajak Sukada. Sebut, misalnya, “Penjara Denpasar” yang dulu terletak di Jalan Diponogoro, kini tidak ada lagi. Tahun 1980-an, gedung penjara Denpasar dibongkar, dibangun baru di Kerobokan, sementara lokasi penjara Diponogoro dijadikan  kompleks pertokoan Kertha Wijaya, berseberangan (agak utara) dengan Bali mall Ramayana. Sebgaai penyair Sukada tidak menggambarkan penjara sebagai benda fisik tetapi justru mengungkapkan denyut hati duka dan watak mnusia yang berusaha adil tetapi sebetulnya tidak pernah berhasil (misalnya dlaam petikan: berapa jiwa disekap disini/ berapa lagi di luar belum basmi).

                Gedung Lilabhwana, di pojok Barat Laut Stadion Ngurah rai, yang sangat populer tahun 1970-an sebagai gedung bioskop dan dikitari pasar malam, kini dapat dikatakan sudah hilang, gedungnya masih tetapi fungsinya berubah. Gedung bioskop yang menjadi lambang kemajuan dan modernitas Denpasar tidak ada lagi. Pasar senggol yang sangat terkenal dan ramai itu berubah bentuk menjadi ruang parkir Stadion Ngurah Rai. Sajak sukada tentang Lilabhwana mengingatkan kenangan generasi lalu tentang kehidupan malam sebuah pojok Denpasar, ciri khas yang kini terasa traadisional karena diambil alih oleh peran mall atau pusat pertokoan.

                Yang tak kalah menariknya adalah sajak “HBB” (Hotel Bali Beach) yang mengungkapkan kesan penyairnya dan mungkin masyarakat ketika itu tentang pembangunan pariwisata. Begini lengkapnya Sukada menuliskan sajaknya tentang hotel pertama di sanur itu.

HBB

Telah dipasang disini

Jaringan dollar

 

Kehidupan sehari-hari

Terbunuh dalam ,misteri

 

Tak kutahu

Berapa dollar harga kehidupan

Kebebasan atau kemanusiaan

 

Ya ya, ya kita pun cukup berwatak

Membenah diri

Dalam ujud hiprokrisi

 

Tentang denyud nadi kota Denpasar, bisa ditangkap sepintas dalam sajaknya berikut ini.

JALAN GAJAH MADA

Melintang barat timur

Memanjang trotoir

Tak mengenal tidur

 

Warna kehidupan

Berlomba dalam, debu dan waktu

                Dulu Jalan Gajah Mada memang merupakan jalan teramai di kota Denpasar. Segala pertokoan yang laris dan riuh ada di sini. Begitu juga dengan pasar kota yang terkenal dengan nama Peken  Payuk. Kini, took-toko di Gajah Mada tetap ‘tidak pernah tidur’ karena ramainya Pasar Badung dan pasar Kumbasari yang dibelah oleh Tukad Badung.

                Sebagai penyair, Sukad telah menanamkan jasanya untuk mencatat suatu denyut di masa lalu. Denyut itu diabadikan dan menjadi memori kota sampai saat ini.

                Toh nyatanya, peran Sukada tidak saja menonjol sebagai penyair tetapi juga sebagai organisator kelompok seniman. Ini bisa dilihat dari gagasannya untuk membentuk Lesiba (Lembaga Seniman Indonesia Bali). Sukadamenyelamatkan HIMPI sejak 17 Oktober 1969 menjadi Lesiba pada 3 Juli 1971. Aktivitas Lesiba banyak sekali, antar lain menyelenggarakan apresiasi sastra penerbitan, dan dokumentsai. Lesiba sudah menerbitkan banyak karya sastra, misalnya novel Panji Tisna berjudul Ni Rawit Ceti Penjual Orang, puisi dan  novel Ngurah Persua, serta karya-karya Sukada.

                Dalam hal apresiasi, Sukada lewat bendera Lesiba rutin tiap Minggu mengadakan pembacan puisi di radio (RRI dan Menara), apresiasi di Art Centre, atau berkemah ke Toya Bungkah, Kintamani, untuk berapresiasi dengan pengarang Pujangga Baru, Sutan Takdir Alisyahbana. Lesiba juga pernah mengadakan diskusi dengan pengarang wanita produktif, Nh Dini. Semua kegiatan itu diikuti peminat seni sastra di Bali. Dari sana banyak muncul seniman dan pencinta sastra, misalnya, I Gusti Putu Bawa Samargantang, Jiwa Tamaja, Made Suarsa, Wimpie Pangkahila –untuk menyebut beberapa nama saja.

                Di bidang dokumentasi, peran Lesiba terutama terlihat lewat sosok Sukada juga besar sekali. Made Sukada memiliki pepustakaan dengan beragam buku dan jurnal yang sangat banyak jumlahnya dan sangat bermanfaat untuk riset. Sosok Sukada biasanya dilukiskan dengan tiga sifat: idealis, berani, dan bertanggung jawab. Siapa pun yang hendak mempelajari perkembangan seni sastra Indonesia yang berkembang di Bali, peran I Made Sukada dan Lesiba serta dokumentasinya pasti tidak bisa diabaikan. 


•   Alamat   : -, BANJAR ABIAN TIMBUL, DESA SANUR KAUH, Denpasar Selatan

•   No Telp.   : 0

•   Tempat/Tgl Lahir   : Denpasar,   23 April 1938

•   Menekuni Sejak   :   01 Januari 1969

Detail Lainnya


•   Nama Suami/Istri   : R.R. Sri Rejeki Mulatati

•   Nama Ayah/Ibu   : I Nyoman Kaler • Ketut Pumi

•   Nama Anak   : • -  

Hasil Karya


Penghargaan


Sumber Informasi : -

Tokoh Seni dan Budaya Lainnya di kec. Denpasar Selatan