desa
banjar
pura
puri
subak
kesenian
situs budaya
lokasi wisata
sulinggih
lpd
pasar
tokoh seni tari
tokoh seni musik/tabuh
tokoh seni karawitan
dalang
tokoh sastra
tokoh seni drama
tokoh seni patung
tokoh seni ukir
tokoh seni lukis
pemangku
tukang banten
sekaa tabuh
sanggar tari
sanggar karawitan
sanggar pesantian
sanggar arja
sanggar wayang
sanggar dolanan
sanggar lukis
Author : Dinas Kebudayaan Kota Denpasar
Post on : Jul 17 2018 :: 03:48:15 PM
Viewed by : 2530 people
DRAMAWAN brewok ini lebih dikenal dengan panggilan Pan Kobar daripada nama aslinya, I Gusti Ngurah Putra Wiryanata. Ini tiada lain karena sosok tokoh Pan Kobar yang dimainkannya di pentas drama modern di Bali, baik di panggung pertunjukan maupun di TVRI Stasiun Denpasar.
Jauh sebelum era kepopuleran tokoh Pan Kobar, Ngurah Putra memang sangat dikenal sebagai dramawan berbakat di Bali. Kepopulerannya ini tentu berkat kegemarannya mendalami seni drama tradisi remaja yang dikembangkan ke gaya modern. Ia menggeluti drama modern secara otodidak sejak usia 18 tahun.
Sebelum menekuni drama moern, Ngurah Putra kecil juga seorang anak panggung yang suka kesenian Bali. Antara lain ia menguasai tari Kebyar Duduk. Tari ini dikuasai lewat proses belajar sekitar tahun 1946 di Banjar Sesetan Kaja. Kala itu ia kasudi (ditunjuk) pihak banjar sebagai penari sekaligus bergabung pada sekaa kesenian banjar setempat. Lepas dari banjar ia belajar tari Baris, jauk, dan Topeng pada seniman tari serba bisa Ida Bagus Sangka dari Desa Sibang, Badung. Ia juga sempat belajar tari pada Nyoman Rindia, penari dari pagan, dan Nyoman Kakul dari Batuan, Gianyar.
“Terus terang, tarian saya tidak bagus. Mungkin karena ptotongan saya bukan potongan penari,” akunya, jujur.
Tamat SMP di Denpasar tahun 1950, Ngurah Putra melanjutkan ke sekolah Taman Madya Yogyakarta. Selama sekolah di Yogyakarta itu ia rajin nonton segala bentuk pertunjukan seni peran, antara lain dagelan Mataram, drama, dan sejenisnya. Tamat tahun 1953 ia langsung pulang ke Bali dan mengajar di SLUA (Sekolah Lanjutan Umum Atas) Saraswati, Denpasar. Di sini ia menjai guru bahasa Inggris, menggambar , ilmu bumi, dan kaligrafi Arab.
Satu hal yang sangat menonjol pada Ngurah Putra saat menjadi guru adalah bahwa ia mahir berbahasa Inggris. Kemahirannya ini, misalnya, terbukti saat-saat ia tampil jadi MC (master of ceremony) pada acara penyambutan tamu agung Presiden pertama RI Sukarno di Istana Negara Tampaksiring, Gianyar. Ia memang sering diminta sebagai pemandu acara kenegaraan tersebut.
Meski demikian, sambil mengajar ia terus saja belajar tari, drama tradisional dan modern. Tahun 1955 ia lantas mengajar sambil siaran di RRI Stasiun Denpasar. Tak pelak lagi, Ngurah Putra jadi padat dengan aneka kegiatan. Pagi mengajar, sore sampai malam siaran di RRi. Kerja rangkapnya itu ternyata tak sisa-sia. “ Di RRI itulah saya mulai berkenalan dengan drama modern dalam bentuk sandiwara radio,” katanya.
Perkenalan tersebut selanjutnya memicu pelatuk kreativitas pria bertubuh gede ganggas (besar kekar) ini. Puluhan naskah sandiwara radio berhasil ditulisnya tanpa mengabaikan pekerjaan pokoknya sebagai guru di SLUA Saraswati. Sayangnya perangkapan ini tak bisa dijalani terus-menerus. Tahun 1957 suami Anak Agung Sagung Wiratni ini dihadapkan pada dua pilihan: tetap mengajar atau pilih siaran di RRI Stasiun Denpasar?
Pilihan demikian muncul karena tahun 1957 itu ia diminta pindah mengajar ke SLUA Saraswati di Bajra-Denpasar, karena dia sendiri merasa sudah ‘jatuh cinta’ dengan dunia siaran. Lantas? Dia menolak pindah ke Bajra, Tabanan, sebaliknya memilih tetap bekerja di RRI Stasiun Denpasar. Ia sadar di radio lebih leluasa baginya mengekspresiksan sekaligus menempa bakat bidang seni drama, khususnya penulisan naskah disbanding menjadi guru.
Begitulah, sebagai konsekuensi atas pilihannya, ia pun berhenti jadi guru di perguruan Saraswati. Sebagai laki-laki dinamis dan kreatif, Ngurah Outra pun tak mau mentok hanya di dunia siaran. Ia selalu menyempatkan dirinya untuk mengembangkan bakatnya di dunia teater modern sembari terus meningkatkan kualitas kerjanya. Maka, mulailah ia belajar menulis naskah drama radio baik yang ada ‘pesan sponsornya, seperti tema pembinaan KB (Keluarga Berencana) maupun bertema lepas.
Dalam kapasitas sebagai penulis naskah drama, Ngurah Putra yang sering pentas ngelawak ini tidak Cuma tenar di radio. Suatu ketika kemampuannya diuji oleh Bipati Badung I Wayan Dana. Dana meminta Ngurah Putra membuatkan naskah drama gong bebahasa Bali untuk mewakili Badung dalam festival Drama Gong se-Bali. Ia lantas menulis naskah dram bejudul Rangga Lawe. “Waktu itu orang bilang saya cocok jadi Rangga Lawe Mungkin karena wajah saya angker dan badan saya kekar,” kenangnya.
Ngurah Putran menyadari hasil garapannya itu banyak kendala. Antara lain, saat itu pemainnya masih takut dengan perhelatan partai di era 1965. Ada keurangan drama tersebut berdimensi politis untuk menguntungkan partai tertentu. Akibatnya, sangat sulit mencari dan mengumpulkan pemain, bahkan sering gonta-ganti pemain saat latihan. Kalau toh dapat pemain, sangat kurang dari persyaratan seniman peran. Ujung-unjungnya ia hanya mampu mengantarkan Badung sampai juara harapan.
Kendatipun doyan berat dengan dunia drama, Ngurah Putra pantang meninggalkan pekerjaan pokoknya di RRI Denpasar. Tahun 1974 ia pun diangkat menjadi Kepala Stasiun RRI Singaraja. Tak bisa mengelak, dia pun pindah ke kota di ujung utara Bali itu. Di sini dia disibukkan oleh tugas-tugas harian sebagai Kepala Stasiun RRI, sehingga kegiatan ekstranya di pentas drama modern pun praktis lumpuh.
Dasar sudah jatuh cinta berat pada drama, empat tahun kemudian fia tinggalkan Singaraja. Bersama keluarganya ia kembali legi ke Denpasar. Disini dia kembali melakoni seni drma yang pernah digelutinya. Selain sebagai pemain dia juga dipercaya sebagai Wakil Ketua Sanggar Mini Badung yang dirintis sutradara sekaligus dramawan Bali, Ida Bagus Anom Ranuara.
Demikianlah, Ngurah Putra ternyata tak tanggung-tanggung menggeluti bidangnya. Berbagai pentas seni peran pun ia lakoni baik pentas panggung langsung maupun syuting TVRI. Ia pun dikenal sebagai dramawan yang responsive dan mampu mencium tren zaman yang berkembang. Baginya, tren ini sangat penting guna mengntalkan dialog antarperan sekaligus bisa menggelitik penonton sehingga pentas menjadi komunikatif. Ini karena dirinya pernah menelan kepahitan di jagat pentas. “Duh, saya sampai tak bisa tidur tiga hari tiga malam ketika lawakan saya menimbulkan gerrr penonton hanya sekali saat pentas di Wangaya,” kenangnya.
Toh begitu, ia tak merasa kapok. Bagaimanapun pahitnya pengalaman pentas, baginya masih kalah dengan kebahagiaan bermain di pentas. Berkat bermain drama ia mengaku bisa bersuara lantang layaknya tukang protes sampai ke pembelaan hak asasi manusia. Protes atas ketidakadilan dan pembelaan terhadap kaum lemah paling sering ia selipkan dalam dialog-dialog dramanya, baik di panggung maupun syuting di TVRI Denpasar.
Kalaupun ada yang masih membikinnya tak tenang adalah karena seniman teater modern di Bali hingga kini tidak terwadahi secara resmi. Kendatipun ada DKD (Dewan Kesenian Denpasar), katanya, itu masih jauh dari harapan seniman. Baginya DKD hanya formalitas wadah seniman yang kurang dukungan pemerintah. Akibatnya, honor pentas seniman teater modern maupun tradisional di Bali dinilainya sangat rendah. Karena itu, “Saya stuju Pemda Bali membuat peraturan penetapan upah seniman, tapi siapa yang mengontorolnya?” sembur lelaki itu.
Tk Cuma itu. Parfi (Persatuan Artis Film Indonesia) pun dinilainya belum bekerja optimal,. Dramawan Bali yang sempat main dalam film horror Amerika ini mengaku, dramawan-dramwan Bali sebenarnya sangat berpeluang untuk terlibat pada garapan-garapan film nasional. Namun faktualnya itu sulit, karena sutradara yang tergabung dalam Parfi sering mengutamakan pemain yang jadi korban KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) akibat ulah calo honor pemain, “makanya, apa pun pujian orang pada bidang seni yang saya tekuni ini, saya tidak mungkin bisa jadi bintang,” katanya.
Meskipun demikian, ayah dari empat anak ini tetap berharap agar seni yang ditekuninya tidak membuat orang sakit hati. “Untungnya saya tak silau dengan tren zaman yang selalu berlumuran kekayaan materi,” ujar Putra sembari menerawang. Entah, sampai kapan dia bisa bertahan ada pilihannya.
• Alamat : -, BANJAR KAJA, DESA SESETAN, Denpasar Selatan
• No Telp. : 0
• Tempat/Tgl Lahir : Denpasar, 31 Juli 1942
• Menekuni Sejak : 01 Januari 1960
• Nama Suami/Istri : Anak Agung Sagung Wiratni
• Nama Ayah/Ibu : AA Gde Raka Erlan • AA Sayu Raka Luwing
• Nama Anak : • -
Sumber Informasi : -
Ni Made Ayu Anggreni Oktalina
Juara I Nari Condong di Br Pekambingan Juara II...
DESA DANGIN PURI KAUH